Jumat, 01 Juli 2011

Gubernur Jateng vs Walikota Surakarta

01/07/2011 08:44:05 TENTU kita merasa terkejut dengan  pernyataan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Bibit Waluyo yang dialamatkan kepada Walikota Surakarta Joko Widodo. Bagaimana mungkin seorang gubernur sampai berkomentar yang di luar kelaziman. Membuat penilaian konklusif yang berkonotasi merendahkan, atau bahkan ‘menjatuhkan’ harkat dan martabat seorang pejabat pemerintahan dengan kata-kata yang tidak semestinya.

Seperti diberitakan, Gubernur Bibit Waluyo sempat memberi cap ‘bodoh’ kepada Walikota Joko Widodo. Menyatakan Walikota Surakarta itu sebagai ‘bodoh’ berkait dengan polemik keberadaan bangunan bekas pabrik es Sari Petodjo di Surakarta. Bangunan yang dinilai bersejarah milik Pemprov Jateng itu hendak digusur, kemudian akan didirikan bangunan pertokoan. Walikota Joko Widodo dan masyarakat Surakarta memprotes, karena bangunan itu masuk dalam kategori bangunan cagar budaya (BCB).
Tentu kita menyayangkan serta menyesalkan adanya seorang pejabat pemerintahan setingkat gubernur yang sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak lazim. Kata-kata yang tidak pantas, berkonotasi kasar, arogan, cenderung ‘menyerang’ kehormatan pribadi seorang Joko Widodo sekaligus dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan Kota Surakarta.
Kita tahu, sebelum terpilih menjadi Gubernur Jateng, Bibit Waluyo adalah sosok militer karier. Seorang prajurit, tentara, anggota TNI AD dengan karier yang cukup cemerlang. Pernah menjabat Pangdam IV/Diponegoro, kemudian Pangkostrad. Dalam posisi sebagai petinggi militer, Bibit Waluyo memang bisa membuat pernyataan keras bernada militeristik terhadap bawahannya. Tetapi ketika kemudian menjadi pejabat sipil, yang bersangkutan tentu perlu menanggalkan sikap dan perangai militeristiknya.Termasuk perlunya mengindahkan kaidah-kaidah kesipilan dalam mengemukakan pendapat maupun penilaian.
Pada tempatnya bila masyarakat Surakarta yang nota bene menjunjung tinggi panji-panji budaya Jawa yang adiluhung tidak bisa menerima kepala pemerintahannya dicap ‘bodoh’. Wajar bila para pemuka formal maupun informal masyarakat Surakarta ikut ‘muring’ ketika walikotanya ‘dibodoh-bodohkan’.
Menurut hemat kita, kosakata ‘bodoh’ dan yang sejenisnya seperti ‘goblog’ hanya diucapkan oleh orang tertentu - ditujukan kepada orang tertentu - dalam kondisi dan situasi yang tertentu pula. Tidak boleh dikemukakan secara sembarangan dan serampangan, mengingat dampak yang menyertainya. Di satu sisi dapat memperlihatkan tingkat kepribadian dan kearifan pihak yang mengucapkan. Di sisi lain berpotensi menghadirkan ‘character assination’ kepada pihak yang dituju ucapan itu.
Perlu diingat, di era otonomi daerah seorang gubernur kepala daerah tidak serta merta menjadi atasan bupati dan walikota untuk semua urusan pemerintahan. Era desentralisasi jauh berbeda dengan orde sentralisasi yang mengharuskan setiap bupati dan walikota tunduk dan taat tanpa reserve kepada gubernur dalam segala urusan pemerintahan. Dalam hal-hal tertentu seorang gubernur perlu menghormati hak-hak otonomi yang terpundak di bahu bupati maupun walikota, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam kaitan dengan hak-hak otonomi inilah kita menduga mengapa Walikota Surakarta sampai terkesan berani ‘berseberangan’ dengan Gubernur Jateng dalam memanfaatkan bangunan yang masuk kategori BCB.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah membaca postingan ini, mohon meninggalkan komentar dipostingan ini.