Rabu, 09 November 2011

Professionalisme Jurnalis dan Element Jurnalisme

Sejarah Singkat dan Perkembangan Jurnalisme
Jurnalistik berasal dari “Journalitsiek” dalam bahasa belanda, “Journalism” dalam bahasa Inggris, yang berarti laporan dengan mengumpulkan bahan berita yang akan disampaikan ke masyarakat dengan memiliki daya tarik untuk dapat di sebarluaskan ketengah masyarakat. Kegiatan jurnalistik sudah sangat tua, yaitu dimulai dari zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan para Senat setiap hari diumumkan dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut Acta Diurna. Berbeda dengan berita saat ini yang datang ke rumah pembacanya.

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori Jurnalistik yang mendasari perkembangannya pers, diantaranya ialah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut Jurnalistik Baru.
Jurnalistik dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976. Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik yang lebih bersifat linier dengan menggunakan satu jenis referensi. Artinya, dalam memberitakan suatu pertistiwa gaya jurnalistik lama hanya sekedar menginformasikan informasi tersebut tanpa ada pembanding peristiwa ditempat yang sama atau di waktu lainnya. Misalnya, kalau terjadi Demo menuntut Turunnya SBY, maka yang berita tersebut hanya berkutat pada Demo tersebut seperti memberitakan tuntutan apa yang akan di sampaikan kepada pemerintah, berapa massa yang turun kejalan ataupun sebagainya.
Sementara, Jurnalistik baru beritanya lebih bersifat Multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, berita yang disampaikan atau juga menggunakan referensi lainnya untuk mendukung berita tersebut agar tidak menjadi “hambar”. Misalnya, dengan melakukan wawancara mendalam kepada narasumber yang mengetahui kejadian tersebut sehingga berita tersebut jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama.
Dengan kata lain, jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi tidak sebatas peristiwa yang kelihatan dipermukaan, melainkan fakta-fakta yang tersembunyi juga bisa diketahui dengan menggali berita dari berbagai sumber. Dengan demikian dapat disebut jurnalistik baru lebih menekankan pada kelengkapan dan pengembangan beritanya, karena pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalistik yang sudah ada.
Menurut Assegaf, jurnalistik dijelaskan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah atau berkala lainnya. Pengertian ini sebenarnya berlaku pada masa dimana hanya media dalam bentuk cetakan saja yang beredar di masyarakat. Kemudian seiring dengan perkembagan jaman dan teknologi, yang melahirkan media elektronik, pengertian jurnalistik pun menjadi lebih luas, yaitu kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa) melalui saluran media, baik cetak maupun elektronik seperti film, radio ataupun televisi (Assegaf, 1991 : 9-11).
Jenis-Jenis Jurnalisme
Dalam jurnalisme terdapat beberapa jenis dan ragam jurnalime, diantaranya sebagai berikut:
a. Jurnalisme warga negara (citizen journalism) merupakan sebuah genre baru dalam dunia komunikasi massa yang menggunakan mediaonline. Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu melalui blog yang dimilikinya di media online. Siapapun dapat melakukan aktivitas jurnalistik tanpa terikat aturan-aturan baku dalam dunia jurnalisme.
b. Jurnalisme presisi adalah kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya. Biasanya diaplikasikan oleh berbagai media massa dengan menggunakan metode polling.
c. Jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan makna karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional daripada substansi isinya. Ciri khasnya dengan pemberitaan yang bombastis, sensasional, dan judul utama yang menarik perhatian publik.
d. Jurnalisme “Lher” disebut juga jurnalisme sensasional karena dalam penyajiannya dilandasi dengan atau untuk mencari sensasi saja. Biasanya ditampilkan dengan gambar dan judul-judul asosiatif yang mengarahkan pemikiran pada seks.
e. Jurnalisme perdamaian dan jurnalisme perang merupakan dua jenis jurnalisme yang selalu bersama, tetapi tidak bisa disatukan. Jika jurnalisme perang berfokus pada konflik dan menang-kalah antara pihak yang bertikai, jurnalisme perdamaian lebih memfokuskan pada pemberitaan yang win-win solution, tidak memihak, dan mengusahakan perdamaian dalam setiap beritanya.. 
f. Jurnalisme kepiting merupakan jurnalisme yang selalu berhati-hati dalam setiap pemberitaannya. Jurnalisme jenis ini lebih memilih “jalan selamat daripada jalan beresiko”. Sebelum memberitakan sesuatu, jurnalisme kepiting selalu meraba-raba jalan yang akan ditempuhnya terlebih dahulu. 

Professionalisme Jurnalis dan 9 Element Jurnalisme 
Era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan di segala bidang kehidupan, termasuk wartawan. Karena era reformasi saat ini telah member kesempatan pada setiap kelompok masyarakat menampakkan eksistensinya di berbagai bidang kehidupan, seperti agama, politik, dan bisnis.
Pengelompokan masyarakat yang kian heterogen itu menyeret wartawan pada berbagai afiliasi dan kepentingan, seperti afiliasi agama, politik dan bisnis. Hal ini mendorong wartawan untuk berpihak kepada kelompok-kelompok sosial itu sehingga timbul tentang profil wartawan Indonesia yang Ideal. Indicator wartawan ideal adalah bukan wartawan amplop, melainkan wartawan yang murni menerima gaji dari perusahaan media massa tertentu untuk memberikan informasi kepada public. Indicator seperti ini sangat bertentangan dengan wartawan bodrek, yang hanya ingin mendapatkan uang dari narasumber tanpa mementingkan etika-etika yang telah diatur oleh kode etik.
Konsep kebebasan pers muncul sebagai reaksi terhadap pers otoriter yang berkembang sebelumnya, karena pers otoriter dianggap tidak demokratis dan tidak relevan dengan gagasan kebebasan individu yang muncul sebagai konsekuensi dari berkembangnya paham liberalisme dan individualisme dalam masyarakat. Kalau dalam pers otoriter dianggap sebagai pelayan negara, maka pers bebas diperlakukan sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga tidak lagi menjadi alat penguasa, tetapi merupakan sarana bagi rakyat untuk mengawasi kekuasaan. Kemudian kalau dalam system pers otoriter itu pers dikendalikan oleh penguasa, maka dalam system pers bebas pers dikuasai oleh pengusaha. Kelompok penguasa ini menentukan fakta dan kebenaran yang disiarkan ke tengah masyarakat.
Tetapi perkembangan pers situ menimbulkan kekhawatiran yang lalu mendorong lahirnya suatu gagasan dan teori pers tanggung jawab sosial. Para pencetus teori pers tanggung jawab sosial berpendapat bahwa orang-orang yang menguasai media massa harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Asumsinya, penguasa media atau pengusaha harus memberikan tanggun jawab kepada masyarakat atas informasi yang mereka berikan kepada masyarakat. Namun, yang terjadi sekarang, para pengusaha justru sibuk dengan dirinya sendiri untuk mencari oplah keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga melupakan atas apa yang telah menjadi tanggung jawab mereka terhadap media massa. Sehingga para pekerja pers pun mengalami fase bimbang dalam melakukan peliputan berita yang benar-benar objektif. Banyak, para jurnalis di negeri ini yang menjadikan proefsi jurnalis hanya sebagai batu loncatan untuk menggapai kepentingan tertentu, artinya mereka berasumsi bahwa jurnalis bukanlah lahan tepat untuk mencari kesejahteraan untuk hidup. Ketika di jurnalis mereka bisa mengkritik habis-habisan segala bentuk kebijakan yang ada. Namun, ketika ditawarkan suatu pekerjaan yang layak dan diberikan kursi yang menggiurkan, tentu ini akan membuat prinsip mereka goyah. Tetapi, ada juga jurnalis yang berpegang teguh pada prinsipnya dan mereka menganggap profesi jurnalis sebagai media dakwah kepada masyarakat.
Sehingga dalam melakukan peliputan berita jurnalis harus berpegang teguh kepada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang tertuang dalam The Elements of Journalist yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiels.
Pertama kebenaran, yang dimaksud kebenaran disini ialah bukanlah kebenaran dalam tataran ideologis, dan filosofis. Tetapi adalah kebenaran fungsional yang dimiliki setiap lembaga atau instansi. Misalkan, seorang hakim memutuskan vonis penjara kepada seorang terdakwa, keputusan ini diyakini benar karena adanya kebenaran fungsional yang dimiliki seorang hakim merupakan kebenaran yang sudah diatur pada aturan-aturan tertentu. Namun apa yang disebut kebenaran fungsional senantiasa bisa direvisi, seorang hakim bisa saja salah dalam memberikan vonis bebas, ketika bukti-bukti yang menguatkan seorang terdakwa tersebut itu tidak ada. Kedua adalah loyalitas, kepada siapa seorang jurnalis menempatkan loyalitasnya ?, seorang jurnalis setidaknya harus bisa menempatkan dirinya sebagai pekerja sosial yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat bukan kepentingan bisnisnya sehingga dapat memberikan prestise yang tinggi bagi perusahaan media tersebut. Berbeda dengan perusahaan lainnya, media justru harus bisa memberikan berita yang menjual mutu kualitas daripada hanya untuk kepentingan profit belaka. Jadi yang dimaksud loyalitas seorang jurnalis ialah loyalitas kepada warga Negara. Ketiga ialah disiplin verifikasi, intisari jurnalisme ialah melakukan verifikasi setiap berita yang akan dilaporkan atau disiarkan kepada masyarakat, karena disiplin verifikasi ini yang akan membedakan jurnalisme dengan fiksi, seni, hiburan, bahkan propaganda sekalipun. Keempat, ialah independensi seorang wartawan terhadap apa yang mereka liput, artinya seorang jurnalis harus memiliki nilai-nilai independensi yang kukuh terhadap apa yang akan mereka hidangkan ke tengah-tengah masyarakat. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah maraknya budaya “amplop” terhadap seorang wartawan yang belum tentu memiliki nilai berita yang berkualitas. Namun mewujudkan independensi bukanlah hal yang mudah, karena seorang jurnalis akan dipengaruhi oleh banyak hal dan banyak pihak. Kelima adalah sebagai pemantau kekuasaan, artinya peran media sebagai anjing penjaga sangatlah diperlukan dalam mengawasi peran dan kinerja para penguasa yang ada. Bukan kepada penguasa ataupun pemilik modal, melainkan kepada masyarakat. Peran anjing penjaga ini sangat vital, ibarat sebuah rumah yang kemudian di datangi orang tidak dikenal, maka si anjing penjaga ini harus menggonggong agar si tuan rumah bisa mengambil sikap. Sebagai anjing penjaga peran pers sebagai lembaga control pemerintah memang sangat diperlukan, bukan berarti pers bisa seenaknya melakukan pengawasan yang bersifat subjektif melainkan harus objektif. 


Keenam adalah jurnalisme harus mengadakan sebuah forum untuk kritik dan komentar public, artinya media baik cetak maupun elektronik harus menyediakan ruang agar para pembaca ataupun pemirsa bisa memberikan pendapat kepada media terkait, baik kritik ataupun saran sehingga dapat menjaga kualitas perusahaan media massa tersebut. Pada harian Kompas misalkan, pada rubrik surat pembaca, ada tajuk rencana yang dijadikan sebagai ruang kepada masyarakat untuk memberikan kritik ataupun saran harian tersebut. Ketujuh adalah wartawan harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan, artinya seorang wartawan harus bisa mengemas beberapa isu penting menjadi hal yang menarik dan relevan sehingga para pembaca menjadi tidak bosan. Hal ini tergantung dari siapa yang dijadikan narasumber agar bobot berita yang di miliki tidak kehilangan kualitasnya.
Kedelapan adalah menjaga berita yang proporsional dan komprehensif, seorang jurnalis harus bisa menjaga beritanya agar tetap proporsional dan komprehensif sehingga perusahaan media tidak akan kehilangan kesetiaan para pembacanya. Banyak jurnalis yang hanya memanfaatkan judul berita sensasional demi menarik perhatian pembacanya, namun tidak korelasi dengan isi beritanya sama sekali. Sangat ketika banyak jurnalis di Indonesia bersifat seperti itu. Surat kabar yang proporsional ibarat seorang musisi, karena kemahirannya memainkan alat music. Semakin dia mampu menunjukan kualitasnya sebagai seorang musisi maka dia tidak akan kehilangan para pendengarnya, begitu juga dengan surat kabar. Terakhir adalah wartawan harus bisa mendengarkan suara hatinya. Ini merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan, namun ini adalah sebuah prinsip yang memang harus dipegang agar seorang jurnalis tidak mudah di ombang ambingkan oleh atasannya. Namun kebanyakan, para atasan seolah-olah memposisikan dirinya sebagai orang yang sangat penting dalam menentukan kebijakan pada media yang di pimpin sehingga para jurnalis tidak berani menentang.
Pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan yang sangat mulia, jangan sampai profesi ini hanya dijadikan alat untuk meraih kepentingan individu. Dengan elemen-elemen tersebut, sekiranya para jurnalis tetap menjaga prinsip dan memegang idealismenya demi kepentingan masyarakat luas. Agar menjadi insan jurnalis yang bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
Harsono Andreas, 2010. Agama Saya adalah Jurnalisme, Kanisius, Yogyakarta.
Nurudin, 2009, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, Jakarta.
Shaffat, Idri. 2008. Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Penyimpangan Pers. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sobur, Alex, 2001, Etika Pers : Profesionalisme dengan Nurani,Humaniora Utama Press, Bandung.
Tebba, Sudirman, 2005, Jurnalistik Baru , Kalam Indonesia, Jakarta.

Oleh : Muh. Nur Gusti

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih sudah membaca postingan ini, mohon meninggalkan komentar dipostingan ini.